Friday, April 29, 2016

Hidup Anomali

2016. Saya mulai menyadari betapa anomalinya hidup saya. Terlahir di keluarga Chinese dengan campuran darah Dayak, saya tumbuh tidak menjadi kedua-duanya. Mandarin tak bisa. Bahasa dayak juga. Budayanya? Buta, banyak yang tidak saya ketahui.
Orang-orang yang mempunyai kemiripan dengan atribut kehidupan saya (Chinese, Katolik, tinggal di Kalimantan) memiliki jalur hidup yang seharusnya seperti ini:
Sekolah dari SD sampai SMA sekolahnya Katolik atau Protestan. Setelah lulus biasanya kuliah swasta. Swasta Kristen, Petra, Atma Jaya (kalau keluarganya berada), atau kuliah ecek-ecek di kampus lokal dan ujungnya gak beres-beres. Terus biasanya anak Chinese di kota saya, Banjarmasin, sering terlibat kegiatan Orang Muda Katolik, pergaulan dengan teman-teman gereja. Biasanya pertemanan dengan pribumi gak pernah terjadi, paling sebatas dengan orang Jawa yang Katolik (Isi Gereja biasanya ya kalau gak Chinese ya Jawa). Hubungan dengan orang local seringkali diisi dengan stereotip negatif dan penuh kecurigaan. 
Setelah kuliah paling-paling kerja di tempat kenalan yang Chinese, rekan-rekannya Chinese juga. Beruntung kalau bisa merantau ke Surabaya atau ke Jakarta dapat kerja di perusahaan swasta yang besar. Dan pastinya isinya hampir Chinese semua. Buruk-buruknya kerja di Banjarmasin dengan kenalan Chinese, dengan gaji kecil. Lalu rutin ikut kegiatan gereja sambil nyari calon.
Tapi kenapa saya hidup tidak seperti itu? 
Saya pun bingung dan kadang merasa kesal.
Semuanya terasa pas pas saja ketika saya bersekolah di sekolah Katolik sampai SMP. Tapi pilihan saya untuk masuk Seminari di Palangkaraya menampar saya. Saya Chinese satu-satu-nya. Teman seminari berasal dari timur Indonesia. Selebihnya adalah orang asli KalTeng, suku Dayak. Saya kaget dengan kehidupan seminari. Begitu banyak yang tidak saya mengerti. Bahkan ketika saya sadar, hidup saya selama ini begitu aneh. Banyak abnormalitas di masa kecil saya.
Anda tahu rasanya mempunyai orangtua tuna runggu? 
Di seminari saya sadar saya tidak berharga.
Saya ditertawakan karena tidak bisa mencuci baju. Kucekan tangan saya lelucon bagi teman-teman saya di seminari. Saya pernah memakai celana basah ke sekolah karena saya lupa untuk memindahkan jemuran begitu hujan turun. Anda tahu mengapa? Hampir 15 tahun, orangtua saya tidak pernah mengajarkan apa itu mencuci baju, apa itu mengangkat jemuran, apa itu menyapu lantai. Saya tahu orangtua saya menyayangi saya. Saya tahu bagaimana rasanya memiliki anak yang memiliki fisik normal padahal mereka tidak pernah mendengar apa pun dari dunia ini. Saya begitu berharga.
Selain itu orangtua saya tidak lulus SD. Mereka berdua terpisah jauh dari keluarga mereka sendiri. Ibu saya begitu dibenci oleh nenek saya karena kecacatan fisik ibu saya. Ibu saya hanya diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri. 
Bapak saya tumbuh sebagai tunarungu di keluarga yang miskin. Bapak saya pekerja keras, tau betapa berharganya uang. Tapi mungkin ketidakberuntungan menyebabkan dia tidak tahu bagaimana mendidik seorang anak. Saya sadar selama hidup saya sampai sekarang, saya hampir tidak pernah berbicara dengan bapak saya. Ya jelas karena keterbatasan bapak saya dan ditambah lagi harga diri bapak saya yang malu berbicara kepada anaknya karena tunarungu. Anda mengalami kan ketika anda bercerita dan berbincang memdalam apa saja kepada bapak anda tentang apa yang anda alami? Saya tidak memgalami itu. Saya ingat perasaan ketika saya lebih tenang ketika bapak saya tidak di rumah. Menyedihkan. 

Wednesday, April 22, 2015

MEMORIES OF KUALA LUMPUR & SINGAPORE (part 1)



TIKET PROMO

   Jauh-jauh hari rencana ke Singapura sudah dipikirkan. Semua berkat kemurahan hati Air Asia memberikan tiket penerbangan murah untuk periode sekitar Februari sampai Mei 2015. Semuanya pembelian tiket harus dilakukan sebelum Oktober 2014. Awalnya gak ada ketertarikan untuk membeli tiket2 tersebut. Hanya sekedar tahu dan merasa kekuatan finansial saat itu tidak dapat menopang. Bali aja belum pernah, lah elo sok2an mau ke Singapura, Malaysia. Maunya sih kalo ada anggota geng (ceilah geng) gue yang bersedia menjadi teman sehati sejiwa di negeri orang, sayangnya sih gak ada.
   Tapi boom, Eli Susiani Ginting, gadis remaja nan unyu yang pengen jadi Syahrini ciao bella menembus cakrawala mendarat di garis khatulistiwa, tetiba menawarkan untuk bergabung membeli tiket promo Air Asia sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Yes, itu jawab gue. Finansial? Mumpung promo..
   Dan gue teringat ama Novryan Hanifan, pria seksi yang punya ambisi memiliki koleksi foto-foto tempat2 ternama di seluruh dunia. ‘Musti diajak nih orang’ pikir gue. Gue tawarkan dan yep, bersedia bergabung. Keputusan tepat, karena ini orang bakalan banyak berjasa banget bagi kelangsungan hidup hajat tim Singkiel ini.
    Akhirnya tim kami berisi 5 orang dimana Ibu Eli Ginting sudah mengajak 2 orang sebelumnya yaitu: Sdr. Nuning, gadis gunung yang makin jauh dan terjal perjalanan jalan kaki makin ceria, dan Kak Sri Enita Ginting, saudara Eli yang sayangnya mendekati hari H perjalanan terserang sakit tifus. Tapi yang bersangkutan tetap memilih berangkat demi kesempatan yang jarang2 ini :D

PERSIAPAN BERANGKAT

        Persiapan tim kita itu luar biasa. Survei sana sini, baca buku traveling (gue sih gak hehe), googling sana sini, bertanya pada orang2, bertanya pada langit, udara, dan rumput yang bergoyang…
   Novryan disini patut kita berikan apresiasi yang luar biasa. Penulis itin kita, jauh2 bulan udah merancang rencana kegiatan di Kuala Lumpur dan Singapura beserta estimasi waktunya. Dia sudah menentukan spot-spot mana yang wajib dikunjungi.
Persiapan hotel pun sangat luar biasa. Googling2 di Abang Goda alias Agoda.com. Selain itu juga di Traveloka.com, bahkan ampe punya voucher hotel! Satu hari kita gunakan untuk berkumpul, dan Novryan hadir jauh2 dari Kupang buat obrolin hotel mana yg musti dipilih.
   Setelah serangkaian jajak pendapat, adu mulut dan adu dada (emangnya duo serigala) diantara kami, dipilihlah Hotel Arena Mountbatten di Kuala Lumpur dan City Backpacker di Singapura. Lalu tercetus pula ide naik kereta malam dari Kuala Lumpur ke Singapura yang menyediakan tempat tidur. Really great idea.

HARI PERTAMA

  Gue dan Novryan mutusin untuk ambil cuti 5 hari kerja dari kantor. Hari Sabtu dan Minggu gue gunakan sepenuhnya untuk packing, persiapan beli ini beli itu, meditasi, luluran, sensual massage (apasih). Sedangkan 2 ladies kita tetap memutuskan untuk masuk kantor di hari pertama demi menjaga lima nilai-nilai Kementerian Keuangan :P.
    Taksi ke bandara udah gue pesen di hari sebelumnya. Gue udah packing dengan sungguh-sungguh. Setiap benda-benda yg gue bawa gue cek ampe 5 kali. Letaknya udah gue tentukan di dalam tas. Gue udah merencanakan apa yang akan gue lakukan pada hari keberangkatan. Persiapan gue udah persis kayak mau menghadap calon mertua.
  Gue udah stand by  depan Gedung Djuanda II, duduk manis di kursi depan di sebelah tong sampah, sambil menghirup udara kantor ketika gue gak perlu ngantor. Sesekali gue ketawa keras dalam hati,”Have a nice Monday” kepada setiap pekerja yang lalu lalang. Gue sih berharap gak ketemu ama rekan-rekan kantor gue, tapi apa daya kekuatan alam semesta yang tak terelakkan, gue tetep ketemu beberapa rekan dan temen yang kebetulan ingat muka gue. Pertanyaannya mirip2,”Eh, Alex. Kok bajunya bebas?”, “Loh Lex, kok nongkrong di sini?”, “Lagi libur Lex? Ciee kemana?” dsb. Semua gue jawab dengan lembut dan penuh belas kasihan,”Iya, Pak/Bu/Mas/Mbak/Cong(?), saya lagi ambil cuti hehe (dengan nada fake)”. Itu normalnya. Eh ternyata pada kesempatan berikutnya, segerombolan mamah mamah muda dan papah papah muda dari kantor gue lewat buat makan siang bareng di salah satu mall terhits di Senen. Gue udah denger suara cekikikan group leader-nya, Mbak Theria Chaterina, atau biasa dipanggil Mawar, eh, Mbak Ria. Gue pengen sembunyiin muka gue, ada tong sampah sih di sebelah, cuman kan gak layak banget gitu loh, muka gue gitu loh. Akhirnya gue hanya bisa mengeraskan muka gue dan memasang senyum polos para peserta Miss Universe. Mbak Ria pun dengan suara melengkingnya nunjuk2 gue sambil bilang kalau gue ketahuan mau keluar negri. Pasukan lainnya pun ikut menyoraki gue. Gue cuman bisa berikan tawa manis gue ke mereka. Setelah mereka berlalu (berasa badai deh berlalu), gue kembali ke dalam suasana hening menanti anggota tim lainnya berkumpul.....